Kamis, 22 Desember 2011

PI Ekonomi Koperasi


“BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PENULISAN ILMIAH

Diajukan guna melengkapi nilai tugas soft skill mata kuliah
Ekonomi Koperasi

Nama   :           Harimurti Bagas
Npm    :           19210990
Kelas   :           2EA13

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitWmBUb3kOpASqn0bV0TCazgYlVDK-Hu7oC88MRdKwBlUXQ9VnLcQywdZ7pdPXuDrwnos6zjWUXaaLAz7pljmEKNpYL0Tp2uswOKiHzx2sBicwGuNzK-oU8JzY5J_tdHrTpXHjOAz1VeI/s200/Gunadarma_Logo.JPG




FAKULTAS EKONOMI
UIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
                                                                              2011



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ilmiah ini dengan baik.
Penulisan ilmiah ini dibuat demi melengkapi nilai tugas soft skill mata kuliah Ekonomi Koperasi.
Penulis menyadari bahwa penulisan ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta komentar yang bersifat membangun dan menuju kesempurnaan.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Semoga penullisan ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca.


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I            
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Pada 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
Tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.

I.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
I.2.1 Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ilmiah ini adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mencetak dan mengedarkan uang serta menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.
I.2.2 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi tujuan dari Bank Indonesia, Tugas Bank Indonesia, Bank Indonesia sebagai lender of the resort, serta kebijakan nilai tukar rupiah

I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memahami fungsi dan tugas dari Bank Indonesia sebagai bank sentral, dan kedudukannya dengan pemerintah pusat.



I.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah penulis dapat lebih memahami tentang seluk beluk mengenai Bank Indonesia dan penulisan ini dapat menjadi referensi bagi mahasiswa lain yang melakukan penelitian sejenis.

I.5 Metode Penelitian
I.5.1 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penulisan penelitian ilmiah ini adalah Bank Indonesia yang merupakan bank sentral Indonesia
I.5.2 Data / Variabel
Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan terutama untuk tujuan investigasi yang  sedang dilakukan saat ini. Sedangkan, data sekunder meru-pakan informasi yang dikumpulkan bukan untuk kepentingan studi saat ini tapi untuk beberapa tujuan lain.
I.5.3 Metode Pengumpulan Data
Penulis mengadakan proses pengumpulan data dengan menggunakan internet melalui situs resmi milik Bank Indonesia, wikipedia serta beberapa blog yang membahas mengenai Bank Indonesia.
I.5.4 Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan atau dugaan mengenai satu atau lebih populasi, hipotesis juga merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah


BAB II
LANDASAN TEORI

II.1 Kerangka Teori
            Penulis akan mengemukakan berbagai pemahaman dengan toeri-teori yang berhubungan dengan penulisan penelitian ilmiah ini.
II.1.1 Tujuan Bank Indonesia
Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal yakni mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Hal ini mengandung dua aspek yakni kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin pada laju inflasi; serta kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
II.1.2 Tugas Bank Indonesia
Dari segi pelaksanaan tugas dan wewenang, Bank Indonesia menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi melalui penyampaian informasi kepada masyarakat luas secara terbuka melalui media massa setiap awal tahun mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter, dan serta rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter pada tahun yang akan datang. Informasi tersebut juga disampaikan secara tertulis kepada Presiden dan DPR sesuai dengan amanat Undang-Undang.
 Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Pilar1 : menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan suku bunga (BI Rate).
Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu menggunakan operasi pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib minimum bagi perbankan.
Pendekatan pegendalian moneter secara tidak langsung ini telah dilakukan sejak 1983 dengan mekanisme operasional yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan pasar uang di dalam negeri.
Pilar2 : mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Sesuai dengan Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Di bidang sistem pembayaran Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Disisi lain dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran Bank Indonesia berwenang melaksanakan, memberi persetujuan dan perizinan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti sistem transfer dana baik yang bersifat real time, sistem kliring maupun sistem pembayaran lainnya misalnya sistem pembayaran berbasis kartu.
Untuk mewujudkan suatu sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal, Bank Indonesia secara terus menerus melakukan pengembangan sesuai dengan acuan yang ditetapkan yaitu Blue Print Sistem Pembayaran Nasional. Pengembangan tersebut direalisasikan dalam bentuk kebijakan dan ketentuan yang diarahkan pada pengurangan risiko pembayaran antar bank dan peningkatan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran.
Pada sistem pembayaran non tunai, saat ini penyediaan layanan jasa pembayaran sebagian besar dilakukan oleh perbankan baik melalui rekening bank di Bank Indonesia, hubungan bilateral antar bank maupun melalui jaringan internal bank yang dimilikinya. Layanan pembayaran dana antar nasabah tersebut biasanya dilakukan melalui transfer elektronik, sistem kliring maupun melalui sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Dari sisi piranti pembayaran, secara historis sistem pembayaran non tunai di Indonesia didominasi oleh piranti pembayaran berbasis warkat, namun dalam perkembangannya piranti elektronik mulai banyak berperan terutama sejak dioperasikannya sistem BI-RTGS pada bulan November untuk penyelesaian transaksi bernilai besar atau urgent.
Sementara itu dalam kaitannya dengan pengawasan sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki tanggung jawab agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat dan aman. Fungsi pengawasan sistem pembayaran ini selain berwenang untuk memberikan izin operasional terhadap pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem pembayaran juga berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem pembayaran baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia maupun pihak lain di luar Bank Indonesia.
Pilar3 : mengatur dan mengawasi bank
Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank
II.1.3 Bank Indonesia Sebagai Lender of the Resort
Bank Indonesia juga berfungsi sebagai lender of the last resort. Dalam melaksanakan fungsi ini, Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya mismatch dalam pengelolaan dana. Pinjaman tersebut berjangka waktu maksimal 90 hari, dan bank penerima pinjaman wajib menyediakan agunan yang berkualitas tinggi serta mudah dicairkan dengan nilai sekurang-kurangnya sama dengan jumlah pinjaman.
II.1.4 Kebijakan Nilai Tukar
   Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kegiatan dunia usaha.
Secara garis besar, sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap mulai tahun 1970 sampai tahun 1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali sejak tahun 1978, dan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) sejak 14 Agustus 1997.
Dengan diberlakukannya sistem yang terakhir ini, nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang berlaku adalah benar-benar pencerminan keseimbangan antara kekuatan penawaran dan permintaan.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu tertentu melakukan sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak kurs yang berlebihan. 


BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Objek Penelitian
                Objek penelitian dalam penulisan penelitian ilmiah ini adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral negara Republik Indonesia.
            Objek yang menjadi sampel adalah
III.1.1 Sejarah singkat bank Indonesia
Tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.
III.1.2 Tujuan berdiri
Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal yakni mencapai dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Hal ini mengandung dua aspek yakni kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin pada laju inflasi; serta kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

III.2 Data / Variabel yang Digunakan
            Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan terutama untuk tujuan investigasi yang  sedang dilakukan saat ini. Sedangkan, data sekunder meru-pakan informasi yang dikumpulkan bukan untuk kepentingan studi saat ini tapi untuk beberapa tujuan lain.



III.3 Metode Pengumpulan Data
   Penulis mengadakan proses pengumpulan data dengan menggunakan internet melalui situs resmi milik Bank Indonesia, wikipedia serta beberapa blog yang membahas mengenai Bank Indonesia.

III.4 Hipotesis Penelitian
   Hipotesis adalah pernyataan atau dugaan mengenai satu atau lebih populasi, hipotesis juga merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah.


BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1 SEJARAH BANK INDONESIA
Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. De Javasche Bank merupakan bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian berubah menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral Indonesia.Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953.
Dalam melakukan tugasnya sebagai Bank Sentral , Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi dan Dewan Penasehat. Dengan adanya Dewan Moneter maka kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada di tangan pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral.
Orde baru membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya UU No. 14/1967 tentang pokok-pokok perbankan. Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban Bank Swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional karena jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan manajemen.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI, sehinnga menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakam titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat, efisien dan tangguh.
Sejak saat itu Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter. Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter.
Ketika krisis moneter tahun 1997 melanda Indonesia, struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini menjadi kepanikan masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia memberikan bantuan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama Pemerintah. Namun akhirnya masa-masa sulit dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Setelah berakhirnya masa orde baru, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No. 3/2004. Semenjak saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga Negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/pihak – pihak lain. Namun, didalm melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Walaupun keberadaan Bank Indonesia baru dimulai tanggal 1 Juli 1953, yaitu saat berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-undang Pokok Bank Indonesia, namun karena dalam penjelasan pasal 23 Undang-undang Dasar 1945 telah disebutkan bahwa Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang, maka penulisan buku sejarah Bank Indonesia dimulai sejak tahun 1945.
Kelembagaan
Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam melakukan tugasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasehat. Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter. Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah orde baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Moneter
Setelah berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi. Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Perbankan
Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih merajai kegiatan perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam negeri masih terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De Javasche Bank adalah bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa tahun kemudian, seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas bank-bank milik Belanda. Berikutnya, sistem ekonomi terpimpin telah membawa bank-bank pemerintah kepada sistem bank tunggal yang tidak bertahan lama. Orde baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi diluar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada periode selanjutnya, perbankan nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak naik.
Ketika krisis moneter 1997 melanda, struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
Sistem pembayaran
Sistem pembayaran di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam Undang-Undang (UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya mengeluarkan uang kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima rupiah. Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas bertanda tahun 1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 13/1968, BI mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu, pemerintah tidak lagi menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI mengeluarkan uang dalam pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999). Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang pecahan besar seiring dengan perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat itu.
Sementara itu, dalam bidang pembayaran non tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri sebagai kantor perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank sentral, sejak awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan sistem pembayaran giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai sistem pembayaran giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai dengan 1990-an, pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi pembayaran non tunai juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI mulai menggunakan sistem yang lebih efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi pembayaran non tunai. Berbagai sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) dengan basis personal computer dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI) dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan dan disempurnakan. Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem elektronik seperti BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time Gross Settlement (RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring warkat antar wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities Settlement System (S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia (1953 – Sekarang)
1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Masa Jabatan : 1953 – 1958
2. Mr. Loekman Hakim, Masa Jabatan : 1958 – 1959
3. Mr. Soetikno Slamet, Masa Jabatan : 1959 – 1960
4. Mr. Soemarmo, Masa Jabatan : 1960 – 1963
5. T. Jusuf Muda Dalam, Masa Jabatan : 1963 – 1966
6. Radius Prawiro, Masa Jabatan : 1966 – 1973
7. Rachmat Saleh, Masa Jabatan : 1973 – 1983
8. Arifin Siregar, Masa Jabatan : 1983 – 1988
9. Adrianus Mooy, Masa Jabatan : 1988 – 1993
10. J. Soedradjad Djiwandono, Masa Jabatan : 1993 – 1998
11. Sjahril Sabirin, Masa Jabatan : 1998 – 2003
12. Burhanuddin Abdullah, Masa Jabatan : 2003 – 2008
13. Boediono, masa jabatan : 2008 – 2013

IV.2 BISNIS UTAMA PERUSAHAAN
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Bank Indonesia merupakan Bank Sentral yang memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga Negara yang Independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/pihak-pihak lain, yang terdapat didalam Undang-Undang No. 3/2004. Untuk dapat menjalankan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Selain itu, Bank Indonesia bersama-sama Bank Pemerintah Daerah seperti BBD, BDN, BEII, BNI, Bapindo, BRI dan BTN, juga mendirikan Yayasan Pengembangan Perbankan Indoensia (YPPI) pada 30 April 1970, dengan tujuan membentuk dan mengembangkan kemampuan tenaga profesional perbankan, baik untuk para pegawai Bank Indonesia dan bank-bank pemerintah, maupun pegawai bank-bank swasta. Bank Indonesia menyatakan niat dan kesediaan melanjutkan pengembangan usaha YPPI atas beban biaya Bank Indonesia dengan mengganti menjadi Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, disingkat LPPI sebagaimana tercermin pada akte pendirian dan anggaran dasarnya, LPPI didirikan oleh Bank Indonesia dengan akte notaris Rd Soeharsono SH, No. 24 tg 29 Des 1977 dengan tiga tujuan pokok, yakni memperoleh tenaga-tenaga pimpinan perbankan yang bermutu; mempertinggi mutu pengetahuan perbankan; dan memperluas pengertian masyarakat terhadap dunia perbankan. Adapun susunan kepengurusan di YLPPI adalah sebagai berikut:
Ø Dewan Kurator
1. Ketua : Gubernur Bank Indonesia
2. Anggota : Pengurus Asosiasi Perbankan yaitu Himbara, Perbanas, Ikatan Bankir
Indonesia, Asosiasi Bank-Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank-bank
Syariah, Federasi Bank Asing dan Perhimpunan Bank-bank Perkreditan,secara ex-officio.
Ø Komite Evaluasi Program
1. Ketua : Deputi Gubernur Bank Indonesia
2. Sekretaris : Direktur Direktorat Penelitian & Pengaturan Perbankan
3. Anggota : Direktur SDM Bank-bank besar, secara ex-officio.
Ø Susunan Direksi
1. Direktur Utama
2. Direktur Bidang Umum
3. Direktur Diklat
4. Direktur Bidang Syariah
5. Direktur Bidang Pendidikan Manajerial
6. Direktur Bidang Pendidikan Profesional

IV.3 KAPAN PERMASALAHAN DI MULAI ?
Permasalahan kasus korupsi dimulai pada saat rapat dewan gubernur pada tanggal 3 juni – 22 juli 2003, yaitu penggunaan dana YPPI sebesar 68,5 Miliar yang digunakan untuk menyelesaikan masalah hokum yang menjerat beberapa mantan pejabat BI. Sisanya 30,5 Miliar mengalir keanggota DPR komisi VIII periode 1999 – 2004. Kucuran dana tersebut ke DPR dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah BLBI dan Amandemen Undang – Undang Bank Indonesia.

IV.4 SIAPA PERAN UTAMA DALAM KASUS KORUPSI BANK   INDONESIA ?
KPK telah menetapkan 3 tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Bank Indonesia, yaitu :
o Burhanudin Abdullah (Gubernur Bank Indonesi).
o Oey Hoy Tiong (Direktur Hukum).
o Rusli Simandjuntak (Mantan Kepala Biro Gubernur BI yang kini menjabat sebagai Kepala Perwakilan BI di Surabaya).
Dalam Kasus dugaan korupsi dana Bank Indonesia merupakan langkah maju yang telah diambil oleh KPK. Sikap KPK tergolong berani, terutama mengingat sosok burhanudin ketika ditetapkan sebagai tersangka masih aktif sebagai Gubernur Bank Indonesia.


IV.5 SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS KASUS ?
Kasus korupsi dana BI terungkap setelah BPK mengaudit BI pada tahun 2006. Ketua BPK Anwar Nasution melaporkan temuan ke KPK pada akhir 2006. Laporan tersebut membeberkan penyimpangan terhadap pemberian bantuan hukum pada pejabat dan mantan pejabat BI. Dana yang dikeluarkan mencapai 100 Miliar. Setahun kemudian KPK baru mengusut kasus tersebut.
Sejauh ini alasan para tersangka BI yaitu, uang yang diambil dari YPPI itu untuk kepentingan diseminasi. Dan aliran dana bantuan hokum untuk mantan pejabat BI 68 Miliar. Keputusan ini merupakan putusan bersama para pejabat Bank Indonesia.
Oleh karena itu, yang bertanggung jawab atas kasus korupsi dana BI, tidak hanya dibebankan kepada gubernur BI saja. Tetapi juga oleh anggota dewan gubernur BI lainnya yang ikut menandatangani keputusan tersebut.
Selain 3 tersangka yang sudah ditetapkan, pimpinan KPK dalam jumpa pers dijakarta akhir januari 2008 menyebutkan tersangka penerimaan dana BI dari DPR yaitu, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdu.
Di dalam perkembangannya 29 Oktober 2008 KPK menetapkan tersangka baru :
1. Aulia Pohan 3. Bun Bunan Hutapea
2. Aslim Tadjuddin 4. Maman Soemantri
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
            Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. De Javasche Bank merupakan bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian berubah menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral Indonesia.Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953.
Walaupun keberadaan Bank Indonesia baru dimulai tanggal 1 Juli 1953, yaitu saat berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-undang Pokok Bank Indonesia, namun karena dalam penjelasan pasal 23 Undang-undang Dasar 1945 telah disebutkan bahwa Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang-undang, maka penulisan buku sejarah Bank Indonesia dimulai sejak tahun 1945.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Bank Indonesia merupakan Bank Sentral yang memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga Negara yang Independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/pihak-pihak lain, yang terdapat didalam Undang-Undang No. 3/2004. Untuk dapat menjalankan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Selain itu, Bank Indonesia bersama-sama Bank Pemerintah Daerah seperti BBD, BDN, BEII, BNI, Bapindo, BRI dan BTN, juga mendirikan Yayasan Pengembangan Perbankan Indoensia (YPPI) pada 30 April 1970, dengan tujuan membentuk dan mengembangkan kemampuan tenaga profesional perbankan, baik untuk para pegawai Bank Indonesia dan bank-bank pemerintah, maupun pegawai bank-bank swasta.
Pada tahun 2003 terdapat kasus dana BI. kasus itu bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada YPPI senilai Rp100 miliar.
BPK menduga uang sebesar Rp31,5 miliar diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Aznar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Pada pemeriksaan di KPK, mantan ketua sub panitia perbankan Komisi IX DPR, Antony Zeidra Abidin, yang juga disebut menerima uang itu dari Rusli, membantah aliran dana tersebut.
Ketika menjabat sebagai Ketua Komisi IX DPR pada 1999-2004, Paskah Suzetta pernah mengusulkan tiga skenario untuk menyelamatkan para anggota DPR yang menerima kucuran dana BI sebesar Rp 31,5 miliar. Usulan Paskah itu disampaikan rekannya, Hamka Yandhu di Hotel Dharmawangsa, Jakarta selatan.
Pengungkapan itu dikatakan mantan Kepala Biro Humas BI Rizal Anwar Djafara saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, di Jakarta, Rabu 6 agustus pada kasus aliran dana BI dengan terdakwa mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah. Rizal mengatakan sekitar tahun 2006 lalu, Paskah minta diatur agar bertemu dengan Gubernur BI, Burhanudin Abdullah. Ketika pertemuan itu diadakan Paskah tidak hadir. Hanya, Burhanuddin Abdullah, Hamka Yandhu, anggota DPR Bobby dan Rizal sendiri.
Waktu itu, Hamka menyampaikan jalan keluar yang diusulkan oleh Paskah, agar BI mengembalikan uang Rp 31,5 miliar ke YPPI, supaya BPK menarik laporannya. Skenario yang diusulkan Paskah Suzetta yaitu, pertama, agar uang aliran dana BI senilai Rp 31,5 miliar yang dikucurkan ke anggota DPR itu diskenariokan hanya sampai di Rusli saja, tidak sampai ke anggota DPR. Kedua, saran penyelesaian politis, antara BPK dan BI. Ketiga, perkara ini distop dan tidak dilanjutkan di pengadilan.
Akan tetapi Paskah Suzetta membantah telah membuat scenario terkait dengan penyelesaian kasus dana BI secara politis. Dan Paskah juga membantah keterlibatan dirinya dalam menerima aliran dana sebesar 1 Miliar.
Bila ada satu bukti lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjerat Kepala Bappenas Paskah Suzetta dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke DPR. Kamis 7 agustus, usai diperiksa selama 6 jam, kepada KPK Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu ini, telah membantah semua keterangan terdakwa Hamka Yamdhu dalam persidangan Tipikor sidang kasus aliran dana BI. Paskah membantah telah menerima dana sebesar Rp 1 miliar.
KPK telah menetapkan 3 tersangka dalam kasus dana BI, yaitu Burhanudin Abdullah selaku Gubernur BI, Oey Hoey Tiong selaku Direktur Hukum BI, dan mantan kepala biro Gubernur BI Rusli Simandjuntak yang kini menjabat kepala perwakilan BI di Surabaya.
Dalam kasus dugaan korupsi dana BI merupakan langkah maju yang telah diambil oleh KPK. Sikap KPK tergolong berani, terutama mengingat sosok Burhanudin ketika ditetapkan sebagai tersangka masing aktif sebagai Gubernur BI.
Kasus korupsi dana BI terungkap, setelah BPK mengaudit BI 2006. Ketua BPK Anwar Nasution melaporkan temuan ke KPK pada akhir tahun 2006. Laporan tersebut membeberkan penyimpangan terhadap pemberian bantuan hukum pada pajabat dan mantan pajabat BI. Dana yang dikeluarkan mencapai 100 Miliar. Setahun kemudian KPK baru mengusut.
Sejauh ini alasan para tersangka BI yaitu, uang yang diambil dari YPPI itu untuk kepentingan diseminasi. Aliran dana bantuan hokum untuk mantan pejabat BI 68 Miliar. Keputusan ini merupakan keputusan bersama para pejabat Bank Indonesia. Oleh karena itu, pertanggung jawabannya tak hanya dibebankan kepada gubernur Bank Indonesia saja, tetapi juga oleh anggota dewan gubernur BI lainnya yang ikut menandatangani keputusan tersebut.
Selain 3 tersangka yang sudah ditetapkan, Pimpinan KPK dalam jumpa pers dijakarta akhir januari 2008 menyebutkan tersangka penerimaan dana BI dari DPR yaitu Antony Zeidra Abidin selaku anggota subkomisi perbankan komisi IX DPR periode 1999-2004. Dan Hamka Yamdu politisi partai golkar yang saat ini masih aktif di komisi IX DPR RI.
Dan didalam perkembangannya tanggal 29 Oktober 2008, KPK menetapkan tersangka baru, yaitu Aulia Pohan, Aslim Tadjuddin, Bun Bunan Hutapea dan Maman Soemantri.
Aliran dana sebesar 100 M ke kas BI tidak pernah tercatat dalam laporan keuangan YPPI.Kepala Auditoriat II BPK Novi Gregorianto ketika bersaksi Beliau mengatakan, dana YPPI ke kas BI secara bertahap pada pertengahan 2003,Audit terhadap laporan YPPI 31 des 2003 tidak memperlihatkan pengeluaran dana tersebut
Hasil pemeriksaan BPK menyebutkan dana itu digunakan tidak sesuai dengan tujuan yayasan, Yaitu mengalir kekas BI untuk tujuan bank sentral. BPK juga membeberkan pencairan dana YPPI itu tidak melalui sistem perbankan umum, Tetapi melalui rekening YPPI yang ada DI BI.
Kemudian diketahui bahwa disposisi dewan pengawas YPPI Itu mendapat persetujuan dari Burhanudin Abdullah Dalam rapat dewan gubernur 3 Juni 2003. Walaupun berdasarkan surat resmi, laporan pengeluaran itu Tidak tercatat dalam laporan keuangan YPPI.
Belum beres kasus aliran dana Bank Indonesia senilai 31,5 Miliar ke anggota DPR periode 1999-2004 diselesaikan, sekarang muncul kasus korupsi dana BI jilid II. Diduga bank sentral ini mengucurkan dana2,3 Miliar kepada komisi perbankan DPR. Dana itu digunakan untuk berbagai kegiatan komisi seperti kunjungan kerja dan bantuan apresiasi dalam rangka diseminasi anggaran operasional BI 2007, biaya silaturahmi dan acara buka puasa.
Selain itu BI diduga memberi uang saku pada empat anggota badan legislasi DPR saat berkunjung ke London dan New York pada 3-12 Maret 2007. Besarnya dana untuk uang saku tersebut 130 juta. Setiap anggota DPR mendapat 1 juta.

DAFTAR PUSTAKA